PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara historis filsafat merupakan induk
ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun
mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka
filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau
jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu terus
mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi
secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang
kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai
upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu
tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu
sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
Filsafat atau falsafat, berasal dari
bahasa Yunani. Kalimat ini berasal dari kata philosophia yang berarti cinta
pengetahuan. terdiri dari kata philos yang berarti cinta, senang, suka dan
kata, sedangkan kaa Sophia berarti
pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah cinta
kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebiaksanaan.
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan
kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain
filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu
Pengetahuan/Sains), baik itu ciri
substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian
tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang
1
tercakup
dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan
dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli.
Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat
modern telah dimulai, dalam era filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan
dengan filsafat abab ke- 20,
munculnya berbagai aliran pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme,
Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo-
kantianisme, Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme dan
Neo-Thomisme. Namun didalam pembahasan kali
ini yang akan dibahas aliran Empirisme (Francius Bacon, Thomas Hobbes.
John lecke David Hume)
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya
adalah.
1. Jelaskan Filsafat Pragmatisme
2. jelaskan Filsafat Idealisme,
3. Jelaskan filsafat Positivisme
4. Jelaskan Post Positivisme
5. Jelaskan Empirisme
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini selain
untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Filsafat Ilmu dan Islam, penulis juga
ingin manambah wawasan tentang filsafat Idealisme, Empirisme, Paragmatisme ,
Positifisme dan Post Positifisme khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya,
serta untuk mengatasi masalah- masalah yang terjadi disekitar kita terkait
pembahasan ini .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cara
Memperoleh Pengetahuan Sain
Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat
dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah
pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula
pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.
Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk
mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur
itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya
kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan.
Manusia juga
perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman
manusia menunjukkan bila alam tidak diatur maka
alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu manusia tidak
mau
dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya.
Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.
Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa yang
dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah
yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia
dan alam.
Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat berdasarkan
agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati.
Pertama, mitos itu
tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia,
dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan
sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau
begitu, apa sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya
ialah agama mana? Masing-masing agama
menyatakan dirinya benar,
yang
lain salah. Jadi,
seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang
yang menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang.
Begitulah kira-kira mereka berpikir.
Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada
sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja
berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal
setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka,
Humanisme melahirkan Rasionalisme.
Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat
itu ialah Empirisme Empirisisme ialah
paham filsafat yang mengajarkan
bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris.
Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar adalah bergerak, sebab secara
empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu, perut anda akan tembus, benda
yang menembus sesuatu haruslah benda yang bergerak. Ya, memang, sesuatu yang diam tidak akan mampu menembus. Logis juga.Nah dengan
Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Tetapi
nanti dulu, ternyata Empirisisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan
Empirisisme ialah karena ia belum
terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata
Empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas,
besi yang mendidih ini sangat panas. Kata Empirisisme, kelereng ini kecil,
bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar. Demikianlah
seterusnya. Empirisisme hanya menemukan konsep yang sifatnya umum. Konsep
itu belum operasional, karena belum terukur. Jadi, masih diperlukan alat lain. Alat
lain itu ialah Positivisme.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan
penting Positivisme. Jadi, hal panas tadi oleh Positivisme dikatakan air kopi
ini 80 derajat celcius, air mendidih
ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu meter
panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini
operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana
Anda lihat, aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam yang
kita miliki sekarang bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada
dan pinggul sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran
kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan.
Kehidupan kita sekarang penuh oleh ukuran.
Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan
untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya?
Kita masih memerlukan alat lain.
BAB III PEMBAHASAN
3.1 PRAGMATISME
Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad
ke-19 di Amerika. Karena itu sering
dikatakan bahwa pragmatisme merupakan sumbangan yang paling orisinal dari
pemikiran Amerika terhadap perkembangan filsafat dunia. Pragmatisme dilahirkan
dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan berbeda yang ada pada saat
itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu
yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang
praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat
rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant,
idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya.[6] Warisan
ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki
kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah mendorong para
filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar
spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi, di
pihak lain ada juga warisan pemikiran yang
hanya begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis
semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu
ditekankan sehingga rasio kehilangan
tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas manusiawi
yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil dari model
pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya yakni
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
cara pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan
dari empirisme. Hal- hal itu seperti.
2.
Pengetahuan mengenai obyek-obyek
material bersumber dari persepsi dengan perspektif yang berbeda-beda,
3.
Dibutuhkan pemahaman multidimensi
atau memerlukan pemahaman pluralitas. Jadi pemahaman komprehensif mesti dilihat
dalam pluralitas.
Selain
sependapat dengan empirisme untuk beberapa hal di atas, pragmatisme juga
sependapat dengan tradisi rasionalisme dan idealisme dalam hal keseluruhan
nilai hidup, terutama moralitas dan agama memberi makna untuk hidup manusia.
Melihat
apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif yang
ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip yang dipegang kaum pragmatis yakni:
tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang penting ialah
apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi dalam tindakan.[8]
Pengertian Pragmatisme
Pragmatism berasal dari kata pragma yang berarti guna. Pragma berasal
dari kata yunani. Maka pragmatisme adalah suatu aliran filsafat abad ke-20 yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai
yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.
tersebut memiliki fungsi atau kegunaan dalam kehidupan
praktis. Jadi, kebenaran menurut paham ini bukan kebenaran yang di lihat dari
segi etik, baik atau buruk, tetapi kebenaran yang di dasarkan pada kegunaannya
Tokoh Pragmatisme Dan Pemikirannya
1.
Charles Sandre Peirce ( 1839 M )
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa,
sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada
kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan
suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu
teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dari kedua pernyataan
itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar
ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari
kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat
dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu
praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
Peirce mengemukakan dua metode yaitu
metode pragmatik dan prosedur penetapan makna. Yang dimaksud metode pragmatik merupakan sebuah ide
yang kita pikirkan itu bisa menjadi jelas. Metode pragmatik bukan dimaksudkan
untuk menetapkan makna semua ide melainkan untuk konsep intelektual yang
dimiliki struktur argumentatif atas fakta obyektif.
Prosedur
Penetapan Makna merupakan urunan lain yang dari Peirce
pada pragmatisme. Pertama, suatu makna itu kosong bila tak dapat diaplikasikan
dalam situasi. Kedua, untuk dapat memberikan makna kita harus membangun sekema
sebagai kerangka teoretik untuk mendapatkan isi konsep empirik yang signifikan.
2.
William, James (1842-1910)
William, James (1842-1910)
Lahir di new York, pada tahun 1842.
Setelah belajar ilmu kedokteran di universitas Harvard, ia kemudian pada tahun 1855-1860 belajar di Inggris, prancis,
Swiss, dan Jerman. memperkenalkan ide-idenya tentang pragmatism kepada dunia.
Ia ahli dalam bidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi, dan filsafat.
Pemikiran filsafatnya lahir karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik
antara pandangan ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa
masalah kebenaran tentang asal/tujuan dan hakikatnya bagi orang Amerika terlalu
teoritis. Ia menginginkan hasil-hasil yang konkrit. Dengan demikian, untuk
mengetahui kebenaran dari idea tau konsep haruslah diselidiki konskuensi-konskuensi praktisnya.
William james selain menamakan
filsafatnya dengan pragmatisme, juga menyebut dengan istilah radical empirisme
(suatu empirisme harus tidak menerima unsure alam bentuk apapun yang tidak
alami secara langsung, atau mengeluarkan dari bentuknya unsure yang di alamin
secara langsung).
a. Kebenaran Pragmatisme
Dalam bukunya the meaning of the truth
(1909), James mengemukakan bahwa tiada kebenaran mutlak yang berlaku umum,
bersifat tetap, berdiri sendiri, dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab
pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam praktiknya apa
yang kita anggap benar dapat di koreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena
itu, tiada kebenaran
yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran “plural”
(apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat di
ubah oleh pengalaman berikutnya).
Dalam membuktikan suatu kebenaran, James
mengajukan pertanyaan“apakah yang
dilakukan oleh hide padamu dalam menghadapi kehidupan nyata?”. Untuk memilikin nilai-nilai kemanusiaan, setiap ide mestilah
berguna untuk mewujudkan setiap tujuan hidup yang jelas. Ketika James
menyelidiki teori-teori kebenaran yang tradisional, ia menanyakan apakah arti
kebenaran dalam tindakan. Kebenaran harus merupakan nilai dari satu ide. Tak
ada suatu motif dalam mengatakan
bahwa sesuatu itu benar atau tidak
benar, kecuali untuk member Petunjuk bagi
tindakan yang Praktis.
Dalam konteks ini, James mengatakan:
“ideas become true just so far as they help us to get
into satisfactory relation other Parts of out experience” (“ suatu ide menjadi
benar sejauh ide itu menolong kita untuk memasuki hubungan-hubungan yang
menguntungkan dan memuaskan dengan bagian-bagian lain Pengalaman kita”).
James menolak mentah-mentah tentang filsafat tradisional yang
mengatakan bahwa kebenaran itu bersifat “monistik” (tunggal). Kebenaran itu
relative, subjektif, dan terus berkembang. Nilai perkembangan dalam pragmatism
tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya, atau tergantung kepada keberhasilan
dari perbbbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar
jika bermanfaat bagi pelakunya, jika dapat memperkaya hidup, serta
kemungkinan-kemungkinan hidup. Menurut James, ada dua hal kebenaran pokok dalam
filsafat, yaitutough minded dan tender
minded. Tough minded dalam mencari kebenaran hanya lewat pendekatan empiris
dan tergantung pada fakta-fakta yang dapat ditangkap indra. Ini tentu saja
menuju pada materialism, dan skeptic dan apriori terhadap apa saja yang berbau
immaterial (transidental). Sikaf ini dipegang kuat oleh penganut filsafat
empirisme. Sementara tender mended hanya mengakui kebenaran
yang sifatnya berada dalam ide dan yang bersifat rasional. Tender mended sangat
apriori pada realitas. Paham semacam ini dipegang teguh oleh penganut filsafat
idealisme. James dating untuk menengahi kedua paham tersebut dalam mengajukan
konsep miliorismenya.
b. Pragmatism dan Etika
Terdapat hubungan yang erat antara konsep pragmatisme mengenai
kebenaran dan sumber kebaikan. Selama ide itu bekerja dan menghasilkan
hasil-hasil yang memuaskan, maka ide itu bersifat benar. Suatu ide di anggap
benar apabila dapat memberikan keuntungan kepada manusia dan yang dapat di
percayai tersebut membawa ke arah kebaikan.
Suatu
bentuk teori etika dapat di bangun demi teori pragmatisme ini. Metode
pragmatisme dalam memebrikan batasan antara baik atau buruk, salah atau benar,
adalah sama seperti membatasi apakah suatu itu
benar atau salah. Contohnya, mencuri bila ia mendatangkan manfaat bagi pelakunya berarti ia baik, tetapi
bila ia mengakibatkan menderita berarti ia buruk
3. Jhon Dewey
pragmatis tetapi ia lebih suka menyebut sistemnya dengan
istilah insrtumentalisme. Menurutnya, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis
pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak
pada pengalaman dan penyelidikan serta
mengelola pengalaman itu secara
aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu system
norma-norma dan nilai-nilai.
Pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak
kembali menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu di bangkitkan segera kita di
hadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia
sekitarnya, dan gerak itu berakhir
dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri.
Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung di dalamnya
pemisahan antara subjek dan objek, tetapi menyatukan keduanya. Jika subjek dan
objek di pisahkan maka itu bukan pengalaman tetapi pemikiran kembali atas
pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.]
Menurut Dewey, penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau
terpimpin dari suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan
penyusunan kembali pengalaman yang di lakukan dengan sengaja. Oleh karena itu,
penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumenth). Jadi yang di
maksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori
yang logis dan tepat dari konmsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara
pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan- penentuan
yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi- konsekuensi di masa
depan.
Dalam rangka pandangan ini maka yang benar adalah apa yang pada
akhirnya di setujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran di tegaskan
dalam istilah-istilah penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali
di tentukan tidak boleh di ganggu gugat, sebab, dalam prakteknya, kebenaran
memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar
pada dasarnya dapat berubah.
Mengenal adalah berbuat. Kadar kebenarannya akan tampak dari
pengujiannya oleh pengalaman-pengalaman di dalam praktek. Satu-satunya cara
yang dapar di percaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya
yang sebenarnya adalah metode induktif.Metode ini bukan hanya berlaku bagi limu
pengetahuan fisika tetapi juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.
CIRI KHAS PRAGMATISME
Seperti yang kita lihat dalam uraian
sebelumnya, secara umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang
mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh
teori tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna
bagi masyarakat. Sutrisno lebih lanjut menyatakan bahwa pragmatisme lebih
merupakan suatu teori mengenai arti daripada teori tentang kebenaran.
Menurut Peirce kebenaran itu ada
bermacam-macam. Ia sendiri membedakan kenajemukan kebenaran itu sebagai berikut
:
Pertama, trancendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal
itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya
letak kebenaran suatu hal adalah pada “things as things”.
Kedua, complex
truth yang berarti kebanaran dari pernyataan- pernyataan. Kebenaran kompleks
ini dibagi dalam dua hal, yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebanaran logis
dipihak lain.
Kebenaran etis adalah seluruh pernaytaan
dengan siapa yang diimami oleh si pembicara, sedangkan kebenaran logis adalah
selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang didefinisikan.
Patokan kebenaran proporsi atau
pernyataan itu dilandaskan pada pengalaman. Artinya : suatu proporsi itu benar
apabila pengalaman ,e,buktikan kebenarannya. Begitu pula sebaliknya. Menurut
Peirc, ada beberapa proporsi yang tidak dapat dikatakan salah, yaitu proporsi
dari matematika murni.
Disini, kriteria kebenaran matematika
murni letknya dalm hal “ketidak mungkinannya lagi” untuk menemukan kasus yang
lemah. Dalam matematika murni, semua kasus dan proporsi serba kuat .
proporsinya sama sekali juga tidak mengatakan sesuatu tentang hal-hal yang
faktual ada atau fakta aktual karena matematika murni tidak pernah menghiraukan
apakah ada real atau fakta yang cocok dengan pernyataan itu atau tidak. Karena itulah Peirnc mengatakan bahwa proporsi matematika murni tidak dapat
diklasifikasikan secara pasti kebenarannya. Masalah penentuan hal “benar”
memang bisa dilihat dari bermacam-macam segi yaitu disatu pihak bisa diartikan
sebagai “the universe of all truth”, dipihak lain, dari sudut epistemologi,
kebenaran di definisikan sebagai kesesuaian antara pernyataan dengan
penyelidikan empiris.
Karena itu, teori pragmatisme Peirce
lebih menekankan teori tetntang arti daripada teori tentang kebenara. Pandangan
Peirce tentang kebenaran dalam uraian diatas, lebih merupakan pandangan seorang
idealis daripada pandangan seorang pragmatis
Menurut Peirce, pragmatis adalah suatu
metode untuk membuat sesuatu ide manjadi jelas atau terang menjadi berarti.
Kelihatan sekali teori arti Peirce
pada pragmatisismennya, baginya pragmatisme adalah metode
untuk menditerminasi makna dari ide-ide. Ide itulah yan hendak diditerminasikan
atau artinya melalui pragmatime.
Ketiga, yaitu
ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh
penilik, ciri khas pragmatisme merupakan ,etode untuk ,e,astikam arti ide-ide
di atas.
Kekuatan Dan Kelemahan Pragmatisme
a.
Pragmatisme mengarahkan aktivitas
manusia untuk hanya sekedar mempercayai pada hal yang sifatnya riil, indrawi,
dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktis pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Pragmatisme telah berhasil
mendorong berfikir yang liberal, bebas, dan selalu menyangsikan segala yang
ada. Berangkat dari sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong
dan member semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktiakn suatu konsep
lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen- eksperimen
sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di bidang
sosial dan ekonomi.
c.
Sesuai dengan coraknya yang
“sekuler” pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu
kepercayaan dapat di terima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang
praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya suatu yang sacral dan mitos.
Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan
pendukung terciptanya demokratisasi,
kebebasan
manusia, dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
a.
Pada perkembangannya pragmatisme
sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka
sikap seperti ini menurus kepada sikap hateisme.
b.
Karena yang menjadi kebutuhan
utama dalam filsafat pragmatisme adalah suatu yang nyata, praktis, dan langsung
dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir
masyarakat yang materialis. Manusia berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan yang bersifat rohaniah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme trelah
di hinggapi oleh penyakit materialism.
c.
Untuk mencapai tujuan
materialismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa mempedulikan
lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja
tanpa mengenal batas waktu hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan materinya,
maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis.
Dari sini masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.
Sifat-sifat Pragmatisme
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu
merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah.
Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan
relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan.
Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat,
rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis.
Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan
hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai
prinsip pemecahan masalah,
pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi
terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi
yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan
keresahan tersebut hilang
Dalam kedua sifat tersebut terkandung
segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya,
mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme
membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai
pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada
penolakan kaum pragmatisterhadap perselisihan teoritis,serta pembahasan
nilai-nilai yang berkepanjangan sesegera mungkin mengambil tindakan langsung
Implementasi Filsafat Pragmatisme
Dalam pelaksanaannya, pendidikan
pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda
ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu
disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan
untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda
dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem
yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini
kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa
mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang
menjadi sarana keberhasila.
1. Instrumemtalisme
Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk
memecahkan masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu
murni yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan konkret.
2. Eksperimentalisme
Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan
percobaan. Dengan demikian maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat
dijadikan pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menerus diuji.
Lantas, kapan masyarakat bisa menjadikan UU itu sebagai pedoman untuk
bertindak? Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran
yang ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.
3. Pendidikan
Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat
anak-anak dan pelajaran yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat
anak-anak. Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di
sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian
juga dengan pelajaran-pelajaran pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak
tidak dapat diterapkan dengan baik.
4. Moral
Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end
berdasarkan finalis kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran
ends-in-view, membuat teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak
adanya pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi proses
penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang ada
adalah serangkaian ends- in-view maka
pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan secara defenitif.
Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakan itu baik atau tidak
Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam
kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama
terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap
beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya
bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model
pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta
anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power
(Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme
terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok
tersebut, yaitu:
·
Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan
pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam
hidup sosial dan pribadi.
·
Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam
pendidikan pragmatisme
merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang
luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
·
Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis
berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan
kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah
dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat
dan kebutuhan anak tersebut.
·
Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan
pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning
by doing (belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan masalah (problem solving method), serta metode
penyelidikan dan penemuan (inquiri and
discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru
yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing,
berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga,
sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman
dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
·
Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan
pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa
mengganggu minat dan kebutuhannya.
Selain hal di atas, pendidikan
pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai
demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang
terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi
kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang
ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan
situasi-situasi sosial yang ada.
IDEALISME
Sejarah Idealisme
Aliran ini merupakan aliran yang sangat
penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat
barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Plato menyatakan
bahwa alam cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun
alam nyata yang menempati ruang ini hanya berupa bayangan saja dari alam ide.
Aristoteles memberikan sifat kerohanian
dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai suatu tenaga yang berada
dalam benda- benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat
dikatakan bahwa paham idealisme sepanjang masa tidak pernah hilang sama sekali.
Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh
semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung para filosof yang
mengakui aliran serba dua (dualisme) seperti Descartes dan Spinoza yang
mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan, maupun keduanya
mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu,
segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme yang
paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil
filsafat yang
mendalam.
Puncak jaman idealisme pada masa abad
ke-18 dan 19 ketika periode idealisme.
Secara historis, idealisme
diformulasikan dengan jelas pada abad IV sebelum masehi oleh Plato (427-347
SM). Semasa Plato hidup kota Athena adalah kota yang berada dalam kondisi
transisi (peralihan). Peperangan bangsa Persia telah mendorong Athena memasuki
era baru. Seiring dengan adanya peperangan-peperangan tersebut, perdagangan dan
perniagaan tumbuh subur dan orang-orang asing tinggal diberbagai penginapan
Athena dalam jumlah besar untuk meraih keuntungan mendapatkan kekayaan yang
melimpah. Dengan adanya hal itu, muncul
berbagai gagasan-gagasan baru ke dalam
lini budaya bangsa Athena. Gagasan-gagasan baru tersebut dapat mengarahkan
warga Athena untuk mengkritisi pengetahuan & nilai-nilai tradisional. Saat
itu pula muncul kelompok baru dari
kalangan pengajar (para Shopis. Ajarannya memfokuskan pada individualisme,
karena mereka berupaya menyiapkan
warga untuk menghadapi peluang baru terbentuknya masyarakat niaga. Penekanannya
terletak pada individualisme, hal itu disebabkan
karena adanya pergeseran dari budaya komunal masa lalu menuju relativisme dalam
bidang kepercayaan dan nilai.
Aliran filsafat Plato dapat dilihat
sebagai suatu reaksi terhadap kondisi perubahan terus-menerus yang telah
meruntuhkan budaya Athena lama. Ia merumuskan kebenaran sebagai sesuatu yang
sempurna dan abadi (eternal). Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi
keseharian senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak
bisa ditemukan dalam dunia materi yang tidak sempurna dan berubah. Plato
percaya bahwa disana terdapat kebenaran yang universal dan dapat disetujui oleh
semua orang. Contohnya dapat ditemukan pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah
selalu benar
(merupakan
kebenaran apriori), contoh tersebut sekarang benar, dan bahkan di waktu yang
akan datang pasti akan tetap benar.
Idealisme dengan penekanannya pada
kebenaran yang tidak berubah, berpengaruh pada pemikiran kefilsafatan. Selain
itu, idealisme ditumbuh kembangkan dalam dunia pemikiran modern. Tokoh-tokohnya
antara lain: Rene Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-1753), Immanuel
Kant (1724- 1804) dan George W. F.
Hegel (1770-1831). Seorang idealis dalam pemikiran pendidikan yang paling
berpengaruh di Amerika adalah William T. Harris (1835- 1909) yang menggagas
Journal of Speculative Philosophy. Ada dua
penganut idealis abad XX yang telah berjuang menerapkan idealisme dalam bidang
pendidikan modern, antara lain: J. Donald Butler dan Herman H. Horne. Sepanjang
sejarah, idealisme juga terkait dengan agama, karena keduanya sama-sama
memfokuskan pada aspek spiritual dan keduniawian lain dari realitas.
Pengertian Idealisme
Idealisme
adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa pengetahuan
dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah manifestasi
dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme sering disebut sebagai lawan dari aliran
realisme. Tetapi, aliran ini justru muncul atas feed back realisme yang
menganggap realitas sebagai kebenaran tertinggi. Idealisme menganggap, bahwa
yang konkret hanyalah bayang-bayang, yang terdapat dalam akal pikiran manusia.
Kaum idealisme sering menyebutnya dengan ide atau gagasan. Seorang realisme
tidak menyetujui pandangan tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada
itu adalah yang nyata, riil, empiris, bisa dipegang, bisa diamati dan
lain-lain. Dengan kata lain sesuatu yang nyata adalah sesuatu yang bisa
diindrakan (bisa diterima oleh panca indra).
Perkembangan Idealisme.
Aliran ini merupakan aliran yang sangat
penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat
Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan
bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun
alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam
idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang
menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam
benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat
dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di
masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua
ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung ulama-ulama
filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang
mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan maupun keduanya
mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu,
segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang
paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil
filsafat yang mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19
ketika periode Idealisme Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa
Jenis-jenis Idealisme
a.
Idealisme Subyektif (Immaterialisme)
:
Seorang idealis subyektif berpendirian
bahwa akal, jiwa dan persepsi- persepsinya atau ide-idenya merupakan segala
yang ada. Obyek pengalaman bukan benda material, obyek pengalaman adalah
persepsi. Benda-benda seperti bangunan dan pohon-pohonan itu ada, tetapi hanya
ada dalam akal yang
mempersepsikannya. George Berkeley (1685-1753), seorang
filosof dari Irlandia. Ia lebih suka menamakan filsafatnya dengan
immaterialisme.Baginya, ide adalah 'esse est perzipi' (ada berarti
dipersepsikan). Tetapi akal itu sendiri tidak perlu dipersepsikan agar dapat
berada. Akal adalah yang melakukan persepsi. Segala yang riil adalah akal yang
sadar atau suatu persepsi atau ide yang dimiliki oleh akal tersebut.
Berkeley menyatakanbahwa ketertiban dan
konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh akal yang aktif yaitu akal Tuhan,
akal yang tertinggi, adalah pencipta dan pengatur alam. Kehendak Tuhan adalah
hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide. Berkeley
menyatakanbahwa ketertiban dan konsistensi alam adalah riil disebabkan oleh
akal yang aktif yaitu akal Tuhan, akal yang tertinggi, adalah pencipta dan
pengatur alam. Kehendak Tuhan adalah hukum alam. Tuhan menentukan urutan dan
susunan ide-ide.Tak mungkin ada benda atau persepsi tanpa seorang yang
mengetahui benda atau persepsi tersebut, subyek (akal atau si yang tahu)
seakan-akan menciptakan obyeknya (apa yang disebut materi atau benda-benda)
bahwa apa yang riil itu adalah akal yang sadar atau persepsi yang dilakukan
oleh akal tersebut.
b. Idealisme Obyektif
Platomenamakan realitas yang fundamental
dengan nama ide, tetapi baginya, tidak seperti Berkeley, hal tersebut tidak
berarti bahwa ide itu, untuk berada, harus bersandar kepada suatu akal, apakah itu akal manusia atau akal Tuhan.
Platopercaya bahwa di belakang alam perubahan atau alam empiris, alam fenomena
yang kita lihat atau kita rasakan, terdapat dalam ideal, yaitu alam essensi,
formatau ide.
Plato:dunia dibagi dalam dua bagian.
·
Pertama, dunia persepsi, dunia
penglihatan, suara dan benda- benda individual. Dunia seperti itu, yakni yang
kongkrit, temporal dan rusak, bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia
penampakkan saja.
·
Kedua, terdapat alam di atas alam
benda, yaitu alam konsep, ide, universal atau essensiyang abadi. Konsep
manusiamengandung realitasyang lebih besar daripada yang dimiliki orang
seorang. Dikenalnyabenda-benda individual karena mengetahui konsep-konsep dari
contoh-contoh yang abadi.
Ide-ide adalah contoh yang transenden
dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual adalah copyatau
bayangandari ide-ide tersebut. Ide- ide yang tidak berubah atau essensi yang
sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan akal. Jiwa manusia adalah
essensi immaterial, dikurung dalam badan manusia untuk sementara waktu. Dunia
materi berubah, jika dipengaruhi
rasa indra, hanya akan memberikan opini dan bukan pengetahuan. Ide-ide adalah
contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual
adalah copyatau bayangandari ide-ide tersebut. Ide-ide yang tidak berubah atau
essensi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan akal. Jiwa
manusia adalah essensi immaterial, dikurung dalam badan manusia untuk sementara
waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan
opini dan bukan pengetahuan. Kelompok idealis obyektif modern berpendapat bahwa
semua bagian alam tercakup dalam suatu tertib yang meliputi segala sesuatu, dan
mereka menghubungkan kesatuan tersebut kepada ide dan maksud-maksud dari suatu
akal yang mutlak (absolute mind).
Hegel (1770-1831) memaparkan satu dari
sistem-sistem yang terbaik dalam idealisme monistik ataumutlak(absolute).
Pikiran adalah essensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang
diobyektifkan. Alam adalahAkal yang Mutlak(absolute reason) yang mengekpresikan
dirinya dalam bentuk luar.
Sejarahadalah cara zat Mutlak (absolute) itu menjelmadalam
waktu dan pengalaman manusia. Oleh karena alam itu satu, dan bersifat mempunyai
maksud serta berpikir, maka alam itu harus berwatak pikiran. Hegel
membentangkan suatu konsepsi yang dinamik tentang jiwa dan lingkungan; jiwa dan
lingkungan itu adalah begitu berkaitan sehingga tidak dapat mengadakan
pembedaan yang jelas antara keduanya. Jiwa mengalami realitas setiap waktu.
c. Idealisme Personal
Personalismemuncul sebagai
protesterhadap meterialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang
personalis, realitas dasar itu bukannya pemikiran yang abstrak atau proses
pemikiran yang khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir.
Realitas itu termasuk dalam
personalitas yang sadar. Jiwa (self) adalah satuan kehidupan yang tak dapat
diperkecil lagi, dan hanya dapat dibagi dengan cara abstraksi yang palsu.
Kelompok personalis berpendapat bahwa perkembangan terakhir dalam sains modern,
termasuk di dalamnya formulasi teori realitas dan pengakuan yang selau
bertambah terhadap 'tempat berpijaknya si pengamat' telah memperkuat sikap
mereka. Realitasadalah suatu sistem jiwa personal, oleh karena itu realitas
bersifat pluralistik. Kelompok personalis menekankan realitas dan harga diri
dari orang-orang, nilai moral, dan kemerdekaan manusia. Bagi kelompok
personalis, alam adalah tata tertib yang obyektif, walaupun begitu alam tidak
berada sendiri. Manusia mengatasi alam jika ia mengadakan interpretasi terhadap
alam ini. Sains mengatasi materialnya melalui teori-teorinya; alam arti dan
alam nilai menjangkau lebih jauh daripada alam semesta sebagai penjelasan
terakhir.Realitas adalah masyarakat perseorangan yang juga mencakup Zat yang
tidak diciptakan dan orang-orang yang diciptakan Tuhan dalam masyarakat manusia.
Alam diciptakan oleh Tuhan, Akuyang Maha Tinggi dalam masyarakat individu.
Terdapat suatu masyarakat person atau aku-akuyang ada hubungannya
dengan
personalitas tertinggi. Personalisme bersifat theistik(percaya pada adanya Tuhan),
ia memberi dasar metafisik kepada
agama dan etika
Kelebihan dan Kekurangan Idealisme
Idealisme berasal dari kata ide yang
artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan
hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas
sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran
mutlak, bukan berkenaan dengan materi. Kata idealisme pun merupakan istilah
yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad
18. Ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan
dengan materialisme Epikuros.
Istilah Idealisme adalah aliran filsafat
yang memandang yang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas.
Dari abad 17 sampai permulaan abad 20 istilah ini banyak dipakai dalam
pengklarifikasian filsafat. Tokoh-tokoh lain cukup banyak ; Barkeley, Jonathan
Edwards, Howison, Edmund Husserl, Messer dan sebagainya.
Kelebihan:
·
Meningkatkan daya pemikiran dari
segi menghasilkan ide yang benar dan boleh dipakai. Kelemahan :
·
Anggapan terhadap sesuatu nilai
atau kebenaran yang kekal sepanjang masa.
Kelemahan :
·
Anggapan terhadap sesuatu nilai
atau kebenaran yang kekal sepanjang masa.
Tokoh-tokoh Idealisme
Ø Plato (477 -347 Sb.M)
Menurut Plato, kebaikan merupakan
hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi
manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui
ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya
sebagai alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang
dialami sehari-hari.
Ø Immanuel Kant (1724 -1804)
Ia menyebut filsafatnya idealis
transendental atau idealis kritis dimana paham ini menyatakan bahwa isi
pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap sebagai miliknya sendiri
melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita. Dapat disimpulkan bahwa
filsafat idealis transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu
itu datang dari akal murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.
Ø Pascal (1623-1662)
Kesimpulan dari
pemikiran filsafat Pascal antara lain.
a)
Pengetahuan diperoleh melalaui dua
jalan, pertama menggunakan akal dan
kedua menggunakan hati.
b)
Manusia besar karena pikirannya,
namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran
manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya
akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika
tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat
tersebut hanya mampu digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas
kontradiksi, yaitu yang bersifat konsisten.Karena ketidak mampuan filsafat dan
ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia
adalah dengan agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau
pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari
kebenaran, walaupun bersifat abstrak.
c)
Filsafat bisa melakukan apa saja,
namun hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada
iman.Filsafat bisa menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa secara
sempurna.Karena setiap ilmu itu pasti ada kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.
Ø J. G. Fichte (1762-1914 M.)
Ia adalah seorang filsuf jerman. Ia
belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada
tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor
Universitas Berlin. Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran ilmu
pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek
benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek tersebut, manusia berusaha
mengetahui yang
dihadapinya.
Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan
objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.
Ø F. W. S. Schelling (1775-1854 M.)
Schelling telah matang menjadi seorang
filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798 M, dalam usia 23 tahun, ia
telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Dia adalah filsuf Idealis Jerman
yang telah meletakkan dasar- dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel.
Inti dari filsafat Schelling: yang
mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai identitas murni atau indiferensi, dalam
arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang obyektif. Yang
mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek)
dan ideal (gambaran alam yang subyektif dari subyek). Yang mutlak sebagai
identitas mutlak menjadi sumber roh (subyek) dan alam (obyek) yang subyektif
dan obyektif, yang sadar dan tidak
sadar. Tetapi yang mutlak itu sendiri
bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang obyektif dan bukan pula yang
subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas mutlak atau indiferensi mutlak.
Maksud dari filsafat Schelling adalah,
yang pasti dan bisa diterima akal adalah sebagai identitas murni atau
indiferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama atau tidak ada
perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide) sebagai subjek, keduanya
saling berkaitan. Dengan demikian yang mutlak itu tidak bisa dikatakan hanya
alam saja atau jiwa saja, melainkan antara keduanya.
Ø G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)
Ia belajar teologi di Universitas
Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor. Inti dari filsafat Hegel
adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang diilhami oleh
agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang
mutlak itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia
akan dirinya. Roh itu dalam intinya ide (berpikir)
3.2.7. Konsep Idealisme
Konsep idealisme
menurut Aliran sebagai berikut.
a) Ontologi-idealisme :
Aliran idealisme dinamakan juga
spiritualisme. Idealisme berarti serba cita sedang spiritualisme berarti serba
ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua
berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari
pada penjelmaan ruhani. Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda
adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
·
Nilai ruh lebih tinggi daripada
badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh itu
dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya
bayangan atau penjelmaan.
·
Manusia lebih dapat memahami
dirinya daripada dunia luar dirinya.
·
Materi ialah kumpulan energi yang
menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
Dalam perkembangannya, aliran ini
ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya,
tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap
sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja
dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar
wujud sesuatu.
George Knight mengemukakan bahwa
realitas bagi idealism adalah dunia penampakan yang ditangkap dengan panca
indera dan dunia realitas yang ditangkap melalui kecerdasan akal pikiran
(mind). Dunia akal pikir terfokus pada ide gagasan yang lebih dulu ada dan
lebih penting daripada dunia empiris indrawi.8 Lebih lanjut ia mengemukakan
bahwa ide gagasan yang lebih dulu ada dibandingkan objek-objek material, dapat
diilustrasikan dengan kontruksi sebuah kursi. Para penganut idealisme
berpandangan bahwa seseorang haruslah telah mempunyai ide tentang kursi dalam
akal pikirannya sebelum ia dapat membuat kursi untuk diduduki. Metafisika
idealisme nampaknya dapat dirumuskan sebagai sebuah dunia akal pikir kejiwaan.
Uraian di atas dapat dipahami bahwa meskipun idealism berpandangan yang
terfokus pada dunia ide yang bersifat abstrak, namun demikian ia tidak
menafikan unsur materi yang bersifat empiris indrawi. Pandangan idealisme tidak
memisahkan antara sesuatu yang bersifat abstrak yang ada dalam tataran ide
dengan dunia materi. Namun menurutnya, yang ditekankan adalah bahwa yang utama
adalah dunia ide, karena dunia materi tidak akan pernah ada tanpa terlebih dulu
ada dalam tataran ide.
b) Epistimologi-idealisme:
Kunci untuk mengetahui epistemologi
idealisme terletak pada metafisika mereka. Ketika idealisme menekankan realitas
dunia ide dan akal pikiran dan jiwa, maka dapat diketahui bahwa teori
mengetahui (epistemologi)nya pada
dasarnya adalah suatu penjelajahan secara mental mencerap
ide-ide, gagasan dan konsep-konsep. Dalam pandangannya, mengetahui realitas
tidaklah melalui sebuah pengalaman melihat, mendengar atau meraba, tetapi lebih
sebagai tindakan menguasai ide sesuatu dan memeliharanya dalam akal pikiran.
Berdasarkan itu, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan itu tidak didasarkan pada sesuatu yang datang dari luar, tetapi
pada sesuatu yang telah diolah dalam ide dan pikiran. Berkaitan dengan ini
Gerald Gutek mengatakan.
In idealism, the process of
knowmg is that of recognition or remmisence of latent ideas that are preformed
and already present in the mind. By reminiscence, the human mind may discover
the ideas of the Macrocosmic Mind in one's own thoughts ..... Thus, knowing is
essentially a process of recognition, a recall and rethinking of ideas that are
latently present in the mind. What is to be known is already present in the mind.
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa
menurut idealisme, proses untuk mengetahui dapat dilakukan dengan mengenal atau
mengenang kembali ide-ide tersembunyi yang telah terbentuk dan telah ada dalam
pikiran. Dengan mengenang kembali, pikiran manusia dapat menemukan ide-ide
tentang pikiran makrokosmik dalam pikiran yang dimiliki séseorang. Jadi, pada
dasarnya mengetahui itu melalui proses mengenal atau mengingat, memanggil dan
memikirkan kembali ide-ide yang tersembunyi atau tersimpan yang sebetulnya
telah ada dalam pikiran. Apa yang akan diketahui sudah ada dalam pikiran.
Kebenaran itu berada pada dunia ide dan gagasan. Beberapa penganut idealisme
mempostulasikan adanya Akal Absolut atau Diri Absolut yang secara terus menerus
memikirkan ide-ide itu. Berkeley menyamakan konsep Diri Absolut dengan Tuhan.
Dengan demikian, banyak pemikir keagamaan mempunyai corak pemikiran demikian.
Kata kunci dalam epistemologi idealisme adalah konsistensi dan koherensi. Para
penganut idealisme memberikan perhatian besar pada upaya pengembangan suatu
sistem kebenaran yang mempunyai konsistensi logis. Sesuatu benar ketika
ia selaras dengan keharmonisan hakikat alam
semesta. Segala sesuatu yang inkonsisten dengan struktur
ideal alam semesta harus ditolak karena sebagai sesuatu yang salah. Dalam
idealisme, kebenaran adalah sesuatu yang inheren dalam hakikat alam semesta,
dan karena itu, Ia telah dulu ada dan terlepas dari pengalaman. Dengan
demikian, cara yang digunakan untuk meraih kebenaran tidaklah bersifat empirik.
Penganut idealisme mempercayai intuisi, wahyu dan rasio dalam fungsinya meraih
dan mengembangkan pengetahuan. Metode-metode inilah yang paling tepat dalam
menggumuli kebenaran sebagai ide gagasan, dimana ia merupakan pendidikan
epistemologi dasar dari idealisme.
c) Aksiologi-idealisme:
Aksiologi idealisme berakar kuat pada
cara metafisisnya. Menurut George Knight, jagat raya ini dapat dipikirkan dan
direnungkan dalam kerangka makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos (jagat
kecil). Dari sudut pandang ini, makrokosmos dipandang sebagai dunia Akar Pikir
Absolut, sementara bumi dan pengalaman-pengalaman sensori dapat dipandang
sebagai bayangan dari apa yang sejatinya ada. Dalam konsepsi demikian, tentu
akan terbukti bahwa baik kriteria etik maupun estetik dari kebaikan dan
kemudahan itu berada di luar diri manusia, berada pada hakikat realitas
kebenaran itu sendiri dan berdasarkan
pada prinsip-prinsip yang abadi dan baku. Dalam pandangan idealisme, kehidupan
etik dapat direnungkan sebagi suatu kehidupan yang dijalani dalam keharmonisan
dengan alarm (universe). Jika Diri Absolut dilihat dalam kacamata makrokosmos,
maka diri individu manusia dapat diidentifikasi sebagai suatu diri mikrokosmos.
Dalam kerangka itu, peran dari individual akan bisa menjadi maksimal mungkin
mirip dengan Diri Absolut. Jika Yang Absolut dipandang sebagai hal yang paling
akhir dan paling etis dari segala
sesuatu, atau sebagai Tuhan yang dirumuskan sebagai yang sempurna sehingga
sempurna pula dalam moral, maka lambang
perilaku etis penganut
idealisme terletak pada "peniruan"
Diri
Absolut. Manusia adalah bermoral jika ia selaras dengan Hukum Moral Universal
yang merupakan suatu ekspresi sifat dari Zat Absolut.
Uraian di atas memberikan pengertian
bahwa nilai kebaikan dipandang dan sudut Diri Absolut. Ketika manusia dapat
menyeleraskan diri dan mampu mengejewantahkan
diri dengan Yang Absolut sebagai sumber moral etik, maka kehidupan etik telah
diperolehnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Gutek mengemukakan bahwa pengalaman
yang punya nilai didasarkan pada kemampuan untuk meniru Tuhan sebagai sesuatu yang Absolut, sehingga nilai etik itu
sendiri merupakan sesuatu yang muttlak, abadi, tidak berubah dan bersifat universal.
d. Metafisika-idealisme:
secara absolut kenyataan yang sebenarnya
adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan
yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih
berperan.
e. humanologi-idealisme:
jiwa dikaruniai kemampuan berpikir yang
dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih.
Demikian kemanusiaan merupakan bagian
dari ide mutlak, Tuhan sendiri. Idea yang berpikir sebenarnya adalah gerak yang
menimbulkan gerak lain. Gerak ini menimbulkan tesis yang dengan sendirinya
menimbulkan gerak yang bertentangan, anti tesis. Adanya tesis dan anti tesisnya
itu menimbulkan sintesis dan ini merupakan tesis baru yang dengan sendirinya
menimbulkan anti tesisnya dan munculnya sintesis baru pula.
Demikian proses roh atau ide yang
disebut Hegel dialektika. Proses itulah yang menjadi keterangan untuk segala
kejadian. Proses itu berlaku menurut hukum akal. Jadi semua
yang riil bersifat
rasional dan semua yang
rasional
bersifat riil. Maksudnya luasnya rasio sama dengan luasnya realitas, sedangkan
realitas menurut Hegel adalah proses pemikiran (ide).
Prinsiip_prinsip Idealisme
Prinsip-prisip
Idealisme.
a)
Menurut idealisme bahwa realitas
tersusun atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan atau ide (spirit). Menurut
penganut idealisme, dunia beserta bagian-bagianya harus dipandang sebagai suatu
sistem yang masing-masing unsurnya saling berhubungan.Dunia adalah suatu
totalitas, suatu kesatuan yang logis dan bersifat spiritual.
b)
Realitas atau kenyataan yang
tampak di alam ini bukanlah kebenaran yang hakiki, melainkan hanya gambaran
atau dari ide-ide yang ada dalam jiwa manusia.
c)
Idealisme berpendapat bahwa
manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dari pada
materi bagi kehidupan manusia. Roh pada dasarnya dianggap sebagai suatu hakikat
yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh
atau sukma.Demikian pula terhadap alam adalah ekspresi dari jiwa.
d)
Idealisme berorientasi kepada
ide-ide yang theo sentris (berpusat kepada Tuhan), kepada jiwa, spiritualitas,
hal-hal yang ideal (serba cita) dan kepada norma-norma yang mengandung
kebenaran mutlak. Oleh karena nilai- nilai idealisme bercorak spiritual, maka
kebanyaakan kaum idealisme mempercayai adanya Tuhan sebagai ide tertinggi atau
Prima Causa dari kejadian alam semesta ini.
Implementasi Idealisme
Aliran idealisme terbukti cukup banyak
berpengaruh dalam dunia pendidikan. William T. Harris adalah salah satu tokoh
aliran pendidikan idealisme
yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Idealisme
terpusat tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan
oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis
sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan
spiritual, dan tidak sekedar kebutuhan alam
semata.
Pendidikan idealisme untuk individual
antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan
yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis, dan pada akhirnya diharapkan
mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan
pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan antar
manusia. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara
tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam
kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran menurut aliran idealisme
berfungsi sebagai.
1.
Guru adalah personifikasi dari
kenyataan anak didik. Artinya, guru merupakan wahana atau fasilitator yang akan
mengantarkan anak didik dalam mengenal dunianya lewat materi-materi dalam
aktifitas pembelajaran.
2.
Guru harus seorang spesialis dalam
suatu ilmu pengetahuan dari siswa.
Artinya, seorang guru itu harus
mempunyai pengetahuan yang lebih dari pada anak didik.
3.
Guru haruslah menguasai teknik
mengajar secara baik. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi pedagogik
yaitu kemampuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran, baik dari segi
materi dan yang lainnya.
4.
Guru haruslah menjadi pribadi yang
baik, sehingga disegani oleh murid. Artinya, seorang guru harus mempunyai
potensi kepribadian yaitu karakter dan kewibawaan yang berbeda dengan guru yang lain.
5.
Guru menjadi teman dari para
muridnya. Artinya, seorang guru harus mempunyai potensi sosial yaitu kemampuan
dalam hal berinteraksi dengan anak didik.
Kurikulum yang digunakan dalam
pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang
objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook.
Agar pengetahuan dan pengalamannya aktual. Sedangkan implikasi Aliran Idealisme
dalam Pendidikan yaitu.
a)
Tujuan, untuk membentuk karakter,
mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.
b)
Kurikulum, pendidikan liberal
untuk pengembangan kemampuan dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan.
c)
Metode, diutamakan metode
dialektika (saling mengaitkan ilmu yang satu dengan yang lain), tetapi metode
lain yang efektif dapat dimanfaatkan.
d)
Peserta didik bebas untuk
mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuan
dasarnya.
e)
Pendidik bertanggungjawab dalam
menciptakan lingkungan pendidikan melalui kerja sama dengan alam.
Implementasi
Idealisme dalam Pendidikan:
a.
Pendidikan bukan hanya mengembangkan
dan menumbuhkan, tetapi juga harus menuju pada tujuan yaitu dimana nilai telah
direalisasikan ke dalam bentuk yang kekal dan tak terbatas.
b.
Pendidikan
adalah proses melatih pikiran, ingatan, perasaan. Baik untuk memahami realita,
nilai-nilai, kebenaran, maupun sebagai warisan
sosial.
c.
Tujuan pendidikan adalah menjaga
keunggulan kultural, sosial dan spiritual. Memperkenalkan suatu spirit
intelektual guna membangun masyarakat yang ideal
d.
Pendidikan idealisme berusaha agar
seseorang dapat mencapai nilai- nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua
manusia secara bersama-sama.
e.
Tujuan pendidikan idealisme adalah
ketepatan mutlak. Untuk itu, kurikulum seyogyanya bersifat tetap dan tidak
menerima perkembangan.
f.
Peranan
pendidik menurut aliran ini adalah memenuhi akal peserta didik dengan
hakekat-hakekat dan pengetahuan yang tepat.
POSITIVISME
SEJARAH FILSAFAT POSITIVISME
Positivisme adalah salah satu aliran
filsafat modern. Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran
positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant
(1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah
diuji melalui percobaan (aliran Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang
melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik
terhadap pikiran murni / aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat
batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi
pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya (Ahmad,
2009).
Istilah Positivisme pertama kali
digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang
positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan
Inggeris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17 (Muhadjir,
2001). Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi
pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni
maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf
sosial berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian
mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan
agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif
(1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid (Achmadi, 1997).
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada
para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika
pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan
terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan)
diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi
yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme,
politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena
yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan.
Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut
telah digantikan oleh konsep- konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’.
Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman
metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi.
Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri
pada fakta yang tersaji dan
menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar
observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk
tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris
dalam menyingkap fenomena-fenomena (Ahmad 2009).
PENGERTIAN POSITIVISME
Positivisme berasal dari kata
“positif”. Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang
berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah
boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi
contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus
meneladani contoh tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang filsafat
metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda, atau “penyebab yang sebenarnya”,
termasuk juga filsafat, hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta- fakta (Praja, 2005).
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak
mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris.
Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan
ia dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar bisa
dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan
masyarakat.
Comte sering disebut “Bapak
Positivisme“ karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme
adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi
menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk
mencapai kemajuan. Positivisme merupakan suatu paham yang berkembang dengan
sangat cepat, ia tidak hanya menjadi
sekedar aliran filsafat tapi juga telah menjadi agama
humanis modern. Positivisme telah menjadi agama dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya
menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh
positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik
adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen
dari mental dan menghadirkan properti- properti mereka secara langsung melalui
data indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah
realitas sebagaimana adanya. Seeing is
believing (Syaebani, 2008).
Tugas khusus filsafat menurut aliran
ini adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya.
Tentu saja maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan
oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda
dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif
sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerimanya. Ia hanya
,mengandalkan pada fakta-fakta.
Menurut Ahmad (2009), Tujuan
utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan
filsafat (metafisika). Menurut Ernst, ilmu hendaknya dijauhkan dari
tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan
tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta
yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini
sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas
filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat
adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat
adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi-proposisi filosofis, tapi
yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.
Alasan yang digunakan oleh positivisme
dalam membatasi tugas filsafat di atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu.
Kata filsafat hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih
rendah dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama
dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu
tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala
sesuatu yang terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas
ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi
pada manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Dan karena semua obyek
pengetahuan—baik yang berhubungan dengan
alam maupun yang berhubungan dengan manusia— sudah ditafsirkan oleh masing-masing
ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu
ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa filsafat
bukanlah ilmu.
PERKEMBANGAN POSITIVISME
Auguste Comte dilahirkan pada tahun
1798 di kota Monpellir Perancis Selatan. Ayah dan ibunya menjadi pegawai
kerajaan dan merupakan penganut agama Katolik yang cukup tekun. Ia menikah
dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian dia menyesali
perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari
kecil pemikiran-pemikiran Comte sudah mulai kelihatan, kemudian setelah ia
menyelesaikan sekolahnya pada jurusan politeknik di Paris 1814-1816, dia
diangkat menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir yang dalam
merespon dampak negatif renaissance menolak untuk
kembali pada abad pertengahan akan tetapi harus direspon dengan
menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan berfikir empirik dalam
mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial. Pergulatan intelektual dengan
Saint Simon inilah yang kemudian membuat pola fikir Comte
berkembang. Karena ketidak cocokan Comte dengan Saint Simon akhirnya ia memisahkan diri dan kemudian Comte
menulis sebuah buku yang berjudul “System
of Positive Politics, Sistem Politik Positif” tahun 1824. Berawal dari
pemikiran Plato dan Aristoteles, Comte mencoba menggabungkannya menjadi
positivistik (Purwanto, 2008).
Terdapat tiga tahap
dalam perkembangan positivisme yaitu:
1.
Tempat utama dalam positivisme
pertama diberikan pada Sosiologi (positivisme sosial dan evolusioner), walaupun
perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte
dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill.
Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan
Spencer.
2.
Munculnya tahap kedua dalam
positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan
berpautan dengan Mach dan Avenarius (positivisme kritis). Keduanya meninggalkan
pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri
positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari
sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan
tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain (positivisme logis). Serta kelompok yang turut berpengaruh pada
perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua
kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme
logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya
tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
CIRI-CIRI POSITIVISME
Ciri-ciri
Positivisme antara lain:
1. Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai
mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap
bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka
pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi).
2.
Fenomenalisme, tesis bahwa
realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang
realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan
berada di belakang gejala- gejala penampakan ditolak (antimetafisika)
3. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas
partikularlah yang nyata.
4. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
5. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam
semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta
memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.
6. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-
prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem
mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant
clock work (Syaebani, 2008).
IMPLEMENTASI FILSAFAT POSITIVISME
Salah satu cita-cita bangsa Indonesia
ialah menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas dari
segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan spriritual melalui
bidang pendidikan.
Melalui filsafat positivisme, pendidikan
diarahkan kepada hal baik dalam segi intelektual dan berbagai bidang kehidupan
untuk menciptakan anak didik yang sempurna baik lahir maupun batinnya. Peserta
didik diasah dalam
kemampuannya melihat, menemukan fakta-fakta, menganalisis
sesuatu, serta mentransfer ilmu kepada lingkungannya. sehingga diharapkan dapat
terbentuknya anak bangsa yang kreatif, berkarakter, serta mampu berkontribusi
dalam pembangunan bangsa agar lebih baik dan mampu bersaing dengan negara asing.
FUNGSI FILSAFAT POSITIVISME
Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu kiranya dapat
dikatakan mengenai, fungsi filsafat positivisme yaitu.
1.
Perkembangan yang diberi konotasi
sebagai kemajuan memberikan makna bahwa positivisme telah mempertebal optimisme. Hal
tersebut melahirkan pengetahuan yang positif yang
terlepas dari pengaruh-pengaruh spekulatif, atau
dari hukum-hukum yang umum. Berkat pandangan positivisme
orang'tidak sekedar menghimpun fakta, tapi
ia berupaya meramal masa depan,
yang antara lain turut
mendorong perkembangan teknologi
2.
Kemajuan
dalam bidang fisik telah
menimbulkan berbagai implikasi dalam segi kehidupan. Dengan kata lain, fungsi
filsafat positivisme ini berperan sebagai pendorong timbulnya
perkembangan dan kemajuan yang dirasakan sebagai
kebutuhan.
3.
Dengan adanya penekanan dari
filsafat positivisme terhadap segi rasional
ilmiah, maka berfungsi pula
kemampuannya untuk menerangkan
kenyataan, sedimikian rupa hingga keyakinannya akan kebenaran semakin terbuka.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POSITIVISME
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori
harus di uji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenaranya dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai
penolakannya
atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan
ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta
nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis
tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada
Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka,
dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu
Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar,
untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang
dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis
penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan
berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan
kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak
lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili
fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai
benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta
Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah
dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan
teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan
demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun
teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.
Dari deskriptif ringkas di atas mengenai
positivisme, maka sebenarnya positivisme mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan, yaitu antara lain.
a. Kelebihan Positivisme
·
Positivisme lahir dari faham
empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari
pada kedua faham tersebut.
·
Hasil dari rangkaian tahapan yang
ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan
mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan
bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
·
Dengan kemajuan dan dengan
semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif,
dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya.
·
Positivisme telah mampu mendorong
lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
·
Positivisme sangat menekankan
aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang
dipergunakan sebagai dasar pemikirannya
b. Kelemahan Positivisme
·
Analisis biologik yang
ditransformasikan ke dalam analisis
sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan
nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam
pengertian fisik-biologik.
·
Akibat dari ketidakpercayaannya
terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan
mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan,
Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran
Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat
paham positivistik berkembang pada abad ke 19,
jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
·
Manusia akan kehilangan makna,
seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan
itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
·
Hanya berhenti pada sesuatu yang
nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
·
Positivisme pada kenyataannya
menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek
kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal
perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal
yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
·
Hukum tiga tahap yang
diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan
lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk
mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang
digambarkan sebagai masyarakat positivistic
Tokoh-tokoh Positivisme
1. Auguste Comte ( 1798 – 1857 )
Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste
Francois Xavier Comte, lahir di Montepellier, Perancis (1798). Keluarganya
beragama khatolik yanga berdarah bangsawan. Dia mendapat pendidikan di Ecole
Polytechnique di Paris dan lama hidup disana. Dikalangan teman-temannya Auguste
Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak, yang
meninggalkan Ecole sesudah
seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung Napoleon
dipecat. Auguste Comte memulai
karier professionalnya dengan memberi les dalam bidang Matematika. Walaupun
demikian, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan
sosial. Tahun 1844, dua tahun setelah dia menyelesaikan enam jilid karya
besarnya yang berjudul “Clothilde Course of Positive Philosophy”. Comte bertemu
dengan Clothilde de Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Dia
berumur beberapa tahun lebih muda dari
pada Comte. Wanita tersebut sedang ditinggalkan suaminya ketika bertemu dengan
Comte pertama kalinya, Comte langsung mengetahui bahwa perempuan itu bukan
sekedar perempuan. Sayangnya Clothilde de Vaux tidal terlalu meluap- luap
seperti Comte. Walaupun saling berkirim surat cinta beberapa kali, Clothilde de
Vaux menganggap hubungan itu adalah persaudaraan saja. Akhirnya, dalam suratnya
Chlothilde de Vaux menerima menjalin keprihatinan akan kesehatan mental Comte.
Hubungan intim suami isteri rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi perasaan
mesra sering diteruskan lewat surat menyurat. Namun, romantika ini tidak
berlangsung lama, Chlothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa
bulan sesudah bertemu dengan Comte, dia meninggal. Kehidupan Comte lalu
bergoncang, dia bersumpah membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadarinya”
itu. Auguste Comte juga memiliki pemikiran Altruisme. Altruisme merupakan
ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme
diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan,
bukan “salah satu masyarakat”, melainkan “humanite” suku bangsa manusia” pada
umumnya. Jadi, Altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”(Juhaya S. Pradja, 2000 :
91). Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai
kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan
mereka. Sehubungan dengan altruisme ini, Comte menganggap bangsa manusia
menjadi semacam pengganti Tuhan.
Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire
“Maha Makhluk” dalam hal ini Comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam
kebaktian untuk If Grand Eire itu lengkap
dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi, dan lain-lain. Ini
sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik tanpa agma Masehi”.
Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib
sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan. Perlu diketahui bahwa ketiga tahap atau
zaman tersebutdi atas menurut Comte tidak hanya berlaku bagi perkembangan
rohani seluruh umat manusia, tetapi
juga berlaku bagi perkembangan perorangan. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang
teolog adalah seorang positivis.
2.
John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
Adalah seorang filsuf Inggris, ekonom
politik dan pegawai negeri sipil. Dia adalah seorang kontributor berpengaruh
untuk teori sosial, teori politik dan ekonomi politik.
Lahir : 20 Mei
1806, Pentonville, London Meninggal : 8
Mei 1873, Avignon, Prancis Pasangan :
Harriet Taylor Mill (. M 1851-1858)
Pendidikan : University College London
Orangtua : James Mill, Harriet Burrow
Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan sistem
positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart Mill memberikan landasan psikologis
terhadap filsafat positivisme. Karena psikologi merupakan pengetahuan dasar
bagi filsafat. Seperti halnya dengan kaum positif, Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan
ialah pengalaman. Karena itu induksi
merupakan metode yang paling dipercaya dalam ilmu pengetahuan.
3. H. Taine ( 1828 – 1893 )
Adalah seorang kritikus Perancis dan
sejarawan. Dia adalah pengaruh teoritis kepala naturalisme Perancis, pendukung
utama positivisme sosiologis dan salah satu praktisi pertama kritik historis.
Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.
Lahir : 21 April
1828, Vouziers, Prancis Meninggal : 5
Maret 1893, Paris, Prancis Pendidikan :
École Normale Supérieure
4. Emile Durkheim (1852 – 1917 )
David Émile Durkheim adalah seorang
sosiolog Perancis, psikolog sosial dan filsuf. Ia secara resmi mendirikan
disiplin akademis dan, dengan Karl Marx dan Max Weber, yang sering dikutip
sebagai kepala sekolah.
Lahir : 15
April 1858, Épinal, Prancis Meninggal :
15 November 1917, Paris, Prancis
Pendidikan : Lycée Louis-le-Grand, École Normale
Supérieure, Universitas Leipzig
Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.
POST POSITIVISME
Pengertian Filsafat Post Positivsme
Post positivisme merupakan aliran yang
ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan
kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis
aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan, sesuai
dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu
realitas dapat dilihat secara benar oleh
manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan
eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode
triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Post positivisme merupakan sebuah aliran
yang datang setelah positivism dan memang amat dekat dengan paradigma
positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post
positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil
observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang
betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan
dengan berbagai cara. Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang
pembahasan verifikasi secara mendalam.
Guba (1990:20) menjelaskan
Post-positivisme sebagai berikut: “Postpositivism is best characterized as
modified version of positivism. Having assessed the damage that positivism has
occured, postpositivists strunggle to limited that damage as well as to adjust
to it. Prediction and control continue to
be the aim.” Inti dari pernyataan yang berbahasa asing tersebut yakni,
post- positivisme merupakan perbaikan dari paradigma sebelumnya yakni positivisme.
Aliran post-positivisme merupakan aliran yang datang setelah positivisme, jadi
wajar bila ada kesamaan dalam aliran tersebut. Positivisme dan post-positivisme
sama-sama sepakat bahwa realitas itu benar-benar
nyata dan sesuai dengan hukum alam. Namun, post-positivisme beranggapan bahwa
manusia tidak akan mendapat kebenaran dari sebuah realitas apabila peneliti
membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat langsung dengan realitas.
Jadi peneliti memerlukan hubungan interaktif dengan realitas dengan menggunakan
berbagai macam metode, sumber data, dan lain sebagainya .
Asumsi Dasar Post-Positivsme
a.
Fakta tidak bebas nilai, melainkan
bermuatan teori.
b. Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan
dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk
menunjukkan fakta anomali.
c. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
d. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah
reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh
dengan persoalan dan senantiasa berubah.
e. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
f.
Hal itu berarti bahwa realitas
(perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya
sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
g.
Fokus kajian post-positivis adalah
tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
Perkembangan Awal Post positivisme
Paradigma ini merupakan aliran yang
ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan
kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.Secara ontologis
aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan
hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat
secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis
pendekatan eksperimental melalui
observasi tidaklah cukup,
tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara
pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa
dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini
menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila
pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara
langsung.
Lahirnya paradigma post-positivisme
diawali oleh gugatan terhadap positivisme yang dimulai antara tahun 1970-1980.
Post-positivisme sendiri merupakan perbaikan dari positivisme yang dianggap
mempunyai berbagai macam kelemahan. Kemudian alasan utama paham
post-positivisme menentang terhadap positivisme yakni tidak mungkin
menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan
manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab
manusia selalu berubah. Contohnya pada kehidupan sehari-hari, kecenderungan
orang memilih kendaraan. Jika sepeda motor bertransmisi manual cocok digunakan
untuk laki- laki dan sepeda motor automatic cocok digunakan oleh perempuan.
Maka belum tentu semua laki-laki menggunakan sepeda motor manual dan belum tentu pula semua wanita menggunakan
sepeda motor automatic. Terkadang laki-laki ada yang lebih suka menggunakan
matic dan perempuan menggunakan sepeda manual. Itulah contoh kecil dari
tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi maupun dapat berubah-ubah.
Posisi Aliran Postpositivisme
Untuk mengetahui lebih jauh tentang
postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran
tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan.
a.
Bagaimana sebenarnya posisi
postpositivisme di antara paradigma- paradigma
ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk
lain dari positivisme
yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang
setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa
aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat
dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara
keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap
suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian
suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh
berbagai kalangan dengan berbagai cara.
b.
Bukankah postpositivisme
bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini
tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism)
adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme
modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi
merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
c.
Banyak postpositivisme yang
berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa
mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap
masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena
relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang
pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa
bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua
pandangan itu benar, sedangkan realis
hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal
sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
d.
Karena pandangan bahwa persepsi
orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah
postpositivisme menolak kriteria
objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa
diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua
penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya
penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin
untuk mencapai kebenaran.
Implementasi filsafat Pospositivisme
Dalam pendidikan Indonesia Pospositivisme
adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide positivime. Post
positivisme memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial,
kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam bidang pendidikan.
Filsafat Pospositivisme mengarahkan agar pendidikan tidak hanya dari kejadian
atau hal-hal yang dapat dibuktikan secara empiris atau dapat dilihat melainkan
menggabungkan antara yang dilihat dan dirasakan. Contoh: pendidikan berkarakter
itu akan berjalan dengan baik dan memberikan dampak yang positip, dilihat
bukan hanya dari materi dalam pembelajaran melainkan ada juga dari perilaku
dari guru, keluarga, dan lingkungan serta emosi anak
3.4.5 Tokoh-tokoh postpositivisme
Memiliki nama lengkap Karl Raimund
Popper, lahir di Vienna Austria pada tanggal 28 Juli 1902 yang berlatar
belakang keluarga Yahudi Protestan. Kemudian beristirahat dengan tenang
diusinya yang ke 92 tahun tepatnya di London Inggris pada tanggal 17 September
1994. Merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam
bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi- sebagai
lawan dari verifikasi terhadap ilmu.[
Dalam pemikirannya mengenai prinsip
metodologi ilmu yaitu dia menolak metode induksi yang kenyataannya bersifat
valid. Menurut Popper, daripada bersusah payah mencari fakta-fakta membenarkan,
ilmuwan lebih baik menggunakan waktunya untuk mencari fakta anomaly atau yang
menyimpang. Misalkan pernyataan mengenai semua burung gagak berwarna hitam.
Secara premis, pernyataan tersebut benar. Namun secara logis pernyataan
tersebut salah, karena belum ada jaminan logis bahwa gagak yang diobservasi
kemudian tidak ada yang berwana coklat atau putih. Jika hal ini terbukti mana
kesimpulan semua gagak hitam itu salah.
Pandangan rasionalistis beranggapan
bahwa suatu teori baru akan diterima kalau sudah terbukti bahwa ia dapat
meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Pengujian teori tersebut
menggunakan suatu tes empiris.
2. Thomas khun
Nama lengkapnya adalah Thomas Samuel
Khun, beliau lahir pada tanggal 18 Juli 1922 dan menghembuskan nafas terakhir
diusianya yang ke 73 tahun tepatnya
pada 17 Juni 1996. Dia seorang filusuf, fisikawan dan sejarawan Amerika
Serikat. Kuhn mempercayai bahwa ilmu pengetahuan memiliki periode pengumpulan
data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi setelah sebuah paradigma
menjadi dewasa. Paradigma mampu mengatasi penyimpangan, namun demikian ketika
banyak penyimpangan-penyimpangan yang mengganggu yang mengancam acuan disiplin
maka paradigm tidak bisa dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak
dapat dipertahankan lagi, maka seorang ilmuan boleh berpindah ke paradigma baru. Ketika berada pada
periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan mengalami
apa yang dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam perkembangan ilmu biasa,
sebuah ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika paradigm mengalami
pergeseran, maka itulah yang disebut dengan revolusioner. Ilmu dalam tahap
biasa bisa dikatakan sebagai pengumpulan yang semakin banyak dari solusi
Puzzle. Sedangkan pada tahap revolusi ilmiah terhadap revisi dari kepercayaan
ilmiah atau praktek.
3. 5. EMPIRISME
Pengertian Empirisme
Beberapa pemahaman tentang pengertian
empirisme cukup beragam, namun intinya adalah pengalaman.
Di antara pemahaman
tersebut antara lain:
Empirisme
adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan
bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan
bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.
Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George
Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara
etimologis berasal dari
kata bahasa Inggris empiricism
dan experience.Kata-kata ini
berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία
(empeiria) yang berarti
pengalaman Sementara menurut A.R. Laceyberdasarkan akar katanya Empirisme
adalah aliran dalam filsafat yangberpandangan bahwa pengetahuan secara
keseluruhan atau parsial didasarkankepada pengalaman yang menggunakan indera.
Para penganut aliran empiris dalam
berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme. Mereka
menentang pendapat-pendapat para penganut rasionalisme yang didasarkan atas
kepastian-kepastian yang bersifat
apriori. Menurut pendapat penganut empirisme, metode ilmu
pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi posteriori, yaitu metode yang
berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya kemudian.
Bagi penganut empirisme sumber
pengetahuan yang memadai itu adalah
pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang
menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang menyangkut pribadi manusia.
Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah
bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman.
Ajaran-ajaran pokok Empirisme
a. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
b.
Pengalaman inderawi adalah
satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
c.
Semua yang kita ketahui pada
akhirnya bergantung pada data inderawi.
d.
Semua pengetahuan turun secara
langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali
beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
e.
Akal budi sendiri tidak dapat
memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman
inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk
mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
f.
Empirisme sebagai filsafat
pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Jenis-jenis Emperisme
1.
Empirio-Kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran
filsafat yang bersifat subyaktif- idealistik. Aliran ini didirikan oleh
Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian
pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya,
sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia
sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi
(pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali
ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi- sembunyi, karena dituntut oleh
tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
2. Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada
pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang
pada pandangan-pandangan berikut:
a)
Ada batas-batas bagi Empirisme.
Prinsip system logika formal dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat
dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
b)
Semua proposisi yang benar dapat
dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang
kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika
c)
Pertanyaan-pertanyaan mengenai
hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
3. Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan
dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak
secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan
kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak
pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan
bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu
pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan
bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak
ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar
untuk keraguan. Dalam situasi semacam ini, kita tidak hanya berkata: Aku merasa
yakin (I feel certain), tetapi aku
yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang
pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda,
dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.
Metode filsafat ini butuh dukungan metode filsafat lainnya
supaya ia lebih berkembang secara ilmiah. Karena ada kelemahan-kelemahan yang
hanya bisa ditutupi oleh metode filsafat lainnya. Perkawinan antara
Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan
langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir,
penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.
3.5.4. Tokoh-tokoh Empirisme
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292)
dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh
berikutnya, John Locke dan David Hume.
a. Jonh Locke (1673-1704)
Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris
dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan
kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay
concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion
terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690.
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran
rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran
adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang
diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke :
Segala sesuatu berasal dari pengalaman
inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih
putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi.
Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang
bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari
empiri).
b. David Hume (1711-1776).
David Hume lahir di Edinburg Scotland
tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Hume seorang nyang menguasai
hukum, sastra dan juga filsafat. Karya tepentingnya ialah an encuiry concercing
humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the principles of
moral yang terbit tahun 1751.
Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam
ungkapannya yang singkat yaitu I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu
memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume
menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari
rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah
dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu
melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang
disistematiskan ) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran
Hume ini merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di
rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang
di dasarkan pada pengamatan “(observasi ) dan uji coba (eksperimentasi),
kemudian menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya
pengetahuan.
Empirisme menganjurkan agar kita kembali
kepada kenyataan yang sebenarnya (alam) untuk mendapatkan pengetahuan, karena
kebenaran tidak ada secara apriori di benak kita melainkan harus diperoleh dari
pengalaman. Melalui pandangannya, pengetahuan yang hanya dianggap valid adalah
bentuk yang dihasilkan oleh fungsi pancaindra selain daripadanya adalah bukan
kebenaran (baca omong kosong). Dan mereka berpendapat bahwa tidak dapat dibuat
sebuah klaim (pengetahuan) atas perkara dibalik penampakan (noumena) baik melalui
pengalaman faktual maupun prinsip-prinsip keniscayaan. Artinya dimensi
pengetahuan hanya sebatas persentuhan alam dengan pancaindra, diluar
perkara-perkara pengalaman yang dapat tercerap secara fisik adalah tidak valid
dan tidak dapat diketahui dan tidak dianggap keabsahan sumbernya.
Usaha manusia untuk mencari pengetahuan
yang bersifat, mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh semangat dan
terus-menerus. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat
tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan din kepada pengalaman manusia,
dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut.
Doktrin empirisme merupakan contoh dan tradisi ini. Kaum empiris berdalil bahwa
adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua
segi, apalagi bila di dekat kita, terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk
rneningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun
lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah
sistern pengetahuan yang rnempunyai peluang yang besar untuk benar, meskipun
kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin.
Kaum empiris memegang teguh pendapat
bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang
berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan
berkata “Tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka
dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita meng takan kepada
dia bahwa ada seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk
menceriterakan bagairnana kita sampai pada kesimpulan itu. Jika kemudian kita
terangkan bahwa kita melihat harimau itu dalam kamar mandi, baru kaum empiris
akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya akan
menerima hal tersebutjika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang
kita ajukan, denganjalan melihat harimau itu
dengan mata kepalanya sendiri.
Dua aspek dan teori empiris terdapat dalam contoh di atas tadi. Pertama
adalah perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Yang mengetahui adalah subyek dan benda yang
diketahui adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dan fakta atau obyek
yang dapat ditangkap oleh seseorang. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran
dan fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia. Agar berarti bagi
kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah
memenuhi persyaratan pengujian publik.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN EMPIRISME
1.
Kelebihan empirime adalah
pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar, karena faham empiris
mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
2.
Sedangkan kelemahan empirisme
cukup banyak Prof. Dr. Ahmad Tafsir mengkritisi empirisme atas empat kelemahan,
sebagai berikut.
a.
Indra terbatas. Benda yang jauh
kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil
benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan
kemampuan indera ini dapat melaporkan objek
salah.
b.
Indera menipu. Pada orang yang
sakit malaria, gulara rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan
menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
c.
Objek yang menipu. Contohnya
ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap
oleh alat indera; ia membihongi indera. Ini jleas dapat menimbulkan inderawi
yang salah.
d.
Indera dan objek sekaligus. Dalam
hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan,
dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
Jika melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah kepala kerbau, dan kerbau
pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya.
Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
Implementasi bagi Perkembangan Studi Keilmuan
Empirisme memiliki andil yang besar
dalam ilmu, yaitu dalam pengembangan berpikir induktif. Dalam ilmu pengetahuan,
sumbangan utama adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode
ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain daripada itu, tradisi empirisme
adalah fundamen yang mengawali mata rantai
evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu
pengetahuan sosial itu berbeda dengan
ilmu alam. Sejak saat itu empirisme
menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengertahuan sosial.
Acapkali empirisme di paralelkan dengan tradisi positivisme. Namun demikian
keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda. Sedangkan dalam Islam,
Empirisme dalam Islam mempunyai peran
penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu
Fiqh yang bebasis empiris, yaitu (ibadah mumalah), shalat, zakat, puasa, dan
haji. Empirisme lahir dan terjebak kepada afirmasi rasio praksis dan
menegasikan rasio murni sehingga muncul dogmatisme empiris sendiri, terlebih
dengan membangun kecurigaan/ ketidakpercayaan/ menegasikan (skeptisis) terhadap
epistema yang lainnya telah banyak dianut oleh pendidikan modern, inilah bukti
kenaifannya.
Dampak
epistemologis dari empirisme diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Terjadinya pemisahan antara bidang sankral dan bidang duniawi, misalnya
pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik, atau pemisahan materi dan
ruh yang terwujud dalam seorang ahli fisika atau ekonomi tidak akan berbicara
agama dalam karya ilmiah mereka, sementara fisika dan ekonomi direduksi menjadi
angka-angka, materi dan ruh tampak tidak kompatebel di mata mereka.
2.
Kecendrungan kearah reduksionisme,
materi dan benda direduksi kepada element-elemennya. Ini tampak pada fisika
Newton, sama halnya dengan homo ekonomi-kus dalam ekonomi modern. (dua hal ini
pengaruh sejarah rasionalisme empirisme).
3. Pemisahan antara subyektivitas dan obyektifitas, misalnya dalam ilmu
sosial hal yang merupakan debuku obyektif adalalah keniscayaan yang mengarah
kepada relitas pasti, (pengaruh positivisme pengetahuan yang berujung pada
statusquo hinggga dominasi kebenaran).
4.
Antroposentrisme, ini tampak dalam
dalam konsep demokrasi dan individualisme (ini merupakan pengaruh dari
rasionalisme Rendescartes dengan jargon individu bebas atau subyek manusia akan
menjadi sentral peradaban dunia).
5.
Progresivisme, progresivisme diwakili
oleh Marx, tetapi juga diyakini secara luas seperti pada kemajuan ilmu
pengetahuan dan obat-obatan.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Munculnya filsafat pertama kali ternyata
bukanlah dari Yunani. Berdasarkan pelacakan sejarah para ilmuwan ternyata
filsafat Yunanipun dipengaruhi oleh kebudayaan agama-gama yang berasal dari
dunia Timur, terutama dari Mesir, Babilonia, Mesopotamia. Selain itu, di bagian
dunia lainnya juga berkembang filsafat, seperti di India dan Cina.
Filsafat ilmu dengan berbagai macam
paradigmanya merupakan sejarah jalan menuju perkembangan ilmu pengetahuan di
masa kini. Pandangan konstruktif dibutuhkan untuk mengembangkan ilmu dan
pengetahuan dengan metode apapun asalkan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam dunia Islam, paradigma konstruktivisme merupakan tradisi pemikiran Islam
sejak kemunculan Islam itu sendiri.
Idealisme menganggap, bahwa yang konkret
hanyalah bayang-bayang, yang terdapat dalam akal pikiran manusia. Kaum
idealisme sering menyebutnya dengan ide atau gagasan. Seorang realisme tidak
menyetujui pandangan tersebut. Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada itu
adalah yang nyata, riil, empiris, bisa dipegang, bisa diamati dan lain-lain.
Dengan kata lain sesuatu yang nyata adalah sesuatu yang bisa diindrakan (bisa
diterima oleh panca indra).
Pragmatisme berasal dari kata pragma
(bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu
aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai
benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Dalam paham empirisme, pengalaman
sebagai sumber utama pengetahuan, baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut
dunia maupun
pengalaman batiniyah yang menyangkut pribadi manusia.
Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman atauempiri melalui alat indera.
Paham empirisme ini dipertentangkan dengan paham rasionalisme yang mengatakan
akal (rasio) sebagai sumber pengetahuan.
Paradigma ini merupakan aliran yang
ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan
kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis
aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila
suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti).
DAFTAR PUSTAKA
Fuad Ihsan,
Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 182
Juhaya S. Praja, Prof., Dr. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan
Etika Prenada Media: Jakarta
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Fislasat Umum, Remaja Rosda Karya, Bandung,
2003, hal.144.
Waris, Filsafat
Umum (Ponorogo: Stain Po Press, 2009), http://nuramaliyahramadhanyamelfadiliam.blogspot.co.id/2017/01/aliran
empirisme-dalam-pendidikan.html (
diakses 11 April 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar